Mengapa Polisi Tak Dapat Simpati Netizen ?


Kasus pengroyokan salah satu sopir yang bernama Yus Yunus di Trans Nabire, Kabupaten Dogiyai Papua yang viral belakangan ini menuai kecaman dari netizen Indonesia. Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat, Papua, pun mengutuk keras atas kejadian  yang menewaskan sopir truk. Selain itu, Aliansi Masyarakat Mamuju juga menggelar seruan aksi duka cita kemanusiaan sebagai bentuk simpati kepada korban. Dan netizen 'maha benar' menilai bahwa babi lebih berharga ketimbang nyawa manusia. 

Namun, bukan persoalan babi dan nyawa sebenarnya  yang perhatian publik Indonesia terutama netizen tempat kelahiran korban khususnya dan Sulawesi umumnya. Akan tetapi, sorotan dan kritikan pedas di sematkan kepada kepolisian. Bagaimana tidak dalam video yang beredar di media sosial nampak Polisi berseragam dan bersenjata lengkap berada di lokasi kejadian. Pelbagai ciutan dan surat terbuka kepada Kapolri di medsos agar hukum ditegakkan sama rata sama rasa dan tidak pandang bulu. Salah satu pertanggung jawaban moral yang selama ini jadi keinginan publik ketika ada pimpinan yang tidak menyelesaikan masalah agar segera meletakkan jabatannya. 

Polisi selama ini memiliki slogan mengayomi dan melindungi masyarakat. Namun, kadangkala pengaplikasian slogan tersebut jauh panggang dari api. Sebab oknum di lapangan tidak menjaga marwah institusinya. Hal ini terlihat dalam peristiwa tersebut polisi tidak mampu memberikan perlindungan kepada warga negara sehingga nyawa pun melayang. Meski, polisi berkilah jika jumlah massa lebih banyak dari personel yang turun di lapangan. Tetapi, publik sangat menyesalkan oknum polisi tidak mampu memberikan perlindungan, keamanan hingga sopir tersebut meninggal dunia.

Deretan yang kadangkala dipertontonkan oknum kepolisian tidak sesuai slogannya selama ini sehingga banyak masyarakat kurang puas dengan kinerja institusi kepolisian. Tingkat kepercayaan publik pun terhadap polisi tidak sampai sembilan puluh persen.

Meski menurut survei litbang Kompas yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri meningkat dari 63,2 persen pada 2016, kemudian 70,2 persen pada 2017, hingga menjadi 82,9 persen pada 2018. Sedangkan survei yang dilakukan Alvara Research Center pada Mei 2018. Survei tersebut menunjukkan kepercayaan publik terhadap Polri sebesar 78,8 persen. Hal tersebut menjadi pekerjaan berat bagi kepolisian demi mendapat simpati masyarakat.

Selain itu, pers atau media cetak, elektronik dan daring merupakan pilar keempat demokrasi. Polisi dan media bermitra dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat. Kepolisian yang mengerti hukum dan perundang-undangan serta melakukan pengamanan mesti bertindak sesuai  proses yang ada. Dan para jurnalis memberitakan informasi yang mencerahkan dan berpihak dalam kebenaran. Bukan menginformasikan hal yang tidak sesuai fakta demi menggaet jumlah pembaca.

Ketika terjadi unjuk rasa mahasiswa seringkali kepolisian 'over' persuasif sampai terjadi pemukulan, kekerasan bahkan penembakan. Oknum Kepolisian juga berbuat diluar aturan dan norma yang berlaku seperti memakai sepatu masuk ke masjid sehingga jadi viral.

Demonstrari mahasiswa seperti disetting agar berujung anarkis.  Bahkan telah mengakar dalam diri mahasiswa ketika berdemo mestilah diiringi saling lempar batu. Polisi perlu sistem yang baru mengatasi setiap aksi protes mahasiswa terhadap isu lokal, nasional dan internasional. Kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat telah dijamin oleh konstitusi. Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki tanggung jawab kepada masyarakat sebagai penyambung aspirasinya. Kepolisian mampu menempatkan diri dan terkendali menyambut gerakan jalanan mahasiswa.

Olehnya itu, Institusi kepolisian harus menata diri dan saling bersinergi demi memperbaiki citra yang semakin parah di mata masyarakat. Perekrutan anggota harus benar-benar selektif dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bukan rahasia umum lagi apabila perekrutan polisi sebagian tidak terlepas dari 'permainan' suap menyuap.

Masyarakat akan melakukan perlawanan jika polisi tidak segera introspeksi. Ini terlihat ketika Polisi secara jantan dilawan oleh anak STM dan warga di Menteng. Dan khawatirnya aksi serupa juga akan merembes ke pelosok negeri jika masalah Yus Yunus  tidak diselesaikan sesuai hukum yang berlaku di Republik ini.

Sistem pendidikan calon polisi mesti diperhatikan lebih lanjut. Dan kalau perlu tidak ada lagi tamatan SMA yang diterima. Karena minimnya pendidikan karakter yang berkelanjutan bagi para calon anggota sehingga kadang mereka lebih mendahulukan kekerasan ketimbang jalan damai. Semoga pergolakan antara polisi, masyarakat dan mahasiswa tidak terjadi lagi. Slogan yang selama ini didengungkan kepolisian mampu dijewantahkan secara nyata agar kepercayaan publik semakin meningkat. Bersatulah bangsa dan negara Indonesia. Selamatkan NKRI! Salam mengayomi bukan membiarkan masyarakat melayang nyawanya. Sejahterahkan rakyat sampai akar rumput dari Sabang sampai Merauke agar tidak muncul riak-riak perpecahan dan permusuhan di tengah rakyat itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Coba-coba Beristri ASN

Anda Anak Petani, Jangan Minder Bersaing Jadi ASN

Menginspirasi dan Menebar Kebaikan ditengah Pandemi Corona