Menulis Butuh Inspirasi dan Kontroversi
Menulis, menulis dan menulislah. Untuk dapat dikenang dan hidup abadi, maka kuncinya dengan menulis. Hos Cokroaminoto pernah berkata, "Bila kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator".
Aktivitas menulis memerlukan proses yang panjang. Namun jika diasah terus menerus, maka pada akhirnya akan melahirkan bacaan yang bermanfaat bagi orang lain. Terkadang dalam menulis sesuatu membutuhkan inspirasi. Tetapi bisa juga sebuah tulisan lahir dari kontroversi oleh pemangku kepentingan yang terjadi di tengah masyarakat.
Goresan yang muncul dari suatu kontroversi juga menyebabkan pembaca menilainya dengan sensasional. Terlebih jika praktek para pendukung fanatik dimana judul sangat berbeda jauh dengan isi tulisan. Kontroversi sebuah opini menimbulkan pro dan kontra hingga muncul komentar yang menggelitik, saling adu argumen, mencela, memuji dan membully dari netizen.
Jika ingin menjadi pemimpin besar di kemudian, maka berbicaralah seperti orator dan menulislah seperti wartawan. Merangkai kata memang gampang-gampang susah. Diperlukan kombinasi otak kanan dan kiri untuk melahirkan sebuah ide yang cemerlang. Ide cemerlang tidak cukup, akan tetapi diperlukan suatu tekad yang kuat untuk menghasilkan karya yang mendatangkan minat pembaca.
Pada umumnya di era milenial saat ini terbuka ruang yang selebar-lebarnya untuk menuangkan ide seperti di status Facebook, Whatapps, Instagram dan Youtube. Sebab banyak netizen terkadang mengeluh tidak dapat menulis, padahal jika kumpulan balasan chat dan status diolah dan dirangakai akan jadi tulisan yang berguna.
Ketika duduk di bangku SMA dengan segala keterbatasan, sayamulai belajar menulis tentang apa saja yang kurasakan. Akan tetapi dalam skala yang sederhana.
Kenikmatan menulis belum terasa karena kurangnya wadah berkreasi danmempublikasikannya ke media.
Aktivitas menulis pun kandas ditengah jalan setamat SMA. Alasan yang paling sederhana meninggalkan dunia tulis menulis karena suramnya masa depan. Meski dalam hati kecil saya tetap yakin bahwa jadi penulis adalah sesuatu yang menguntungkan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan melalui tulisan pula seseorang bakal dikenang dan mengukir sejarah peradabannya.
Ketekunan dan kesabaran harus dipegang teguh agar mampu bertahan dalam menuai kritik dan saran. Selain itu, seorang perangkai kata-kata (baca: penulis) harus memiliki ciri khas tersendiri. Tidak mudah untuk menjadi penulis terkenal apalagi menghasilkan karya best seller.
Ketika berstatus mahasiswa dunia kepenulisan kembali bergelora. Karena ada kegelisahan mengenai situasi yang terjadi di Republik ini yang tidak kunjung terselesaikan. Terutama dalam hal kesejahteraan rakyat yang jadi tujuan berdemokrasi yang belum terwujud secara berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbagai tulisan pun telah dimuat di media cetak dan online serta memenangi ajang kepenulisan. Mimpi yang pernah saya tuliskan dalam kertas putih bertinta hitam sebagian telah terwujud berkat izin dari sang Khalik. Namun, manusia hanya merencanakan sebab Sang Maha Kuasalah sebaik-baik perencana.
Setelah beberapa kali mencoba keberuntungan ikut lomba diberbagai media cetak dan online serta offline lainnya, akhirnya Aku berhasil meraih Juara I Lomba Citizen Report Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) Kabar Makassar 2015, Juara I Lomba Menulis Surat Cinta Untuk Mama FULDKIP Nasional UNLAM, Juara II Lomba Essay Nasional Indonesia Siap Sehat 2025 BEM Poltekkes Makassar 2015., Juara II Lomba Menulis Opini Pemuda Dogiyai yang diselenggarakan KNPI Dogiyai-Papua, 2018. Beberapa buku juga telah terbit yakni Buku Antologi Cerpen ‘Dalam Kuasa-Mu’, Freedom Of Writing-Biarkan Aku Menulis dan Mengeritik, Negeri Beribu Alasan, Demokrasi Rasa Kopi serta Antologi Puisi Cahaya Keluarga
Selain mengimpikan jadi penulis juga bermimpi keliling Indonesia. Alhamdulillah telah berhasil menyusuri berbagi pelosok di negeri ini seperti Kalimantan dan Papua. Olehnya itu, maka aku menuliskan apa yang telah aku lihat, dengar dan alami.
Dari ujung timur Indonesia, saya melihat rakyat Papua mengalami ketertinggalan dan keterbelakangan. Akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat setempat. Sehingga muncullah fenomena gizi buruk seperti di Asmat dan perang antar suku pun seringkali terjadi akibat perebutan kekuasaan dan wilayah. Selain itu, gejolak antara pendatang dan penduduk asli tidak terhindarkan seperti yang baru-baru vital pengroyokan sopir truk hingga nyawa melayang.
Menyusuri pedalaman Kalimantan, lagi-lagi menemukan hal serupa, meski Borneo gudang nya kelapa sawit, batubara, gas alam, minyak, dan yang lainnya. Setelah ditelusuri ternyata kekayaan di bumi hutan belantara tersebut dikuasai oleh para pengusaha dan sebagian asing juga. Rakyat belum sepenuhnya menikmati gerusan alam, malah jadi korban dari kebijakan pemerintah.
Berkat rezeki dari menulis dan perjalanan ke Kabupaten dan Kota sehingga dapat membangunkan rumah sederhana untuk orang tua. Dan juga mempersunting seorang gadis kota beradat lulusan keperawatan. Aku terus berjuang menafkahi istriku dengan mengikuti berbagai lomba menulis. Meski belum ada lagi hasil dari lomba tersebut, akan tetapi mampu membangkitkan semangat menulis yang hampir hilang di telan zaman milenial.
Aku ingin dengan menulis mampu mengantarkan kepada perubahan yang lebih baik. Jikalau pun belum mencapai kesejahteraan keluarga, setidaknya dapat berbagi manfaat kepada yang lain. Karena manusia paling berguna adalah yang memberi kemanfaatan terhadap sesama dan lingkungannya.
Sejatinya kekayaan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dikelola secara mandiri dan tidak ada lagi campur asing. Karena dengan pengelolaan SDA oleh generasi bangsa mampu membawa kepada Kesejahteraan tanpa kecuali. Semoga tulisan ini juga mengetuk hati semua kalangan dan stakeholder agar bersatu, bersinergi demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bukan lagi zamannya saling serang, hujat dan mengklaim pancasilais dan tidak pancasilais demi terciptanya kehidupan bangsa yang harmonis, persatuan dan kesatuan yang berbhineka tunggal ika.
Comments