Pilkades 2020 Tolak Ukur Keberhasilan Berdemokrasi
Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun terkadang setelah perhelatan pemilu misalnya, demokrasi kadangkala berubah wujud yakni dari rakyat, oleh rakyat dan hanya kalangan tertentu. Rakyat hanya dilirik dan dijadikan komoditas penggembira saja di Republik ini.
Demokrasi sebagai acuan dalam proses pemilihan pemimpin dari tingkatan bawah sampai atas yang telah disepakati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia patut digugat oleh pelakunya itu sendiri. Secara prosedural demokrasi di Indonesia belum optimal karena banyaknya indikasi ‘kecurangan’ dan problem lainnya yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi itu sendiri.
Dalam pemilu misalnya pilkades dan pilkada saja masih dihiasi berbagi permasalahan klasik berupa kampanye hitam, politik uang, saling mencela dan isu sensitif terhadap pribadi calon, menyebarkan berita bohong, bahkan perkusi terhadap lawan politik dan intrik tercela lainnya.
Pendidikan politik yang semestinya tanggung jawab bersama juga belum berjalan maksimal sesuai regulasi yang ada. Terutama dalam hal memberikan contoh dan teladan berdemokrasi yang baik dan tidak melanggar undang-undang yang ada. Yang dipertontonkan justru sebagian calon dan tim suksesnya justru berkampanye secara tidak fair dengan membagi-bagikan amplop, sembako kepada wajib pilih agar dibilik suara dapat dicoblos.
Dalam perpolitikan Indonesia tidak ada lawan dan kawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan diperebutkan bak kue lapis. Irisan simponi, seremoni dan cipika-cipiki dilakukan oleh elit untuk sebuah jabatan atau posisi tertentu.
Obrolan demokrasi di warung kopi sebatas rasa kopi. Pahitnya akan terasa ketika disuguhkan tanpa gula. Begitulah gambaran berdemokrasi di Indonesia bisa diibaratkan dengan aroma kopi. Pemilu hanya sekedar seremoni dan ajang janji manis. Ruh dan esensi berpemilu yakni menuju kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih terasa 'pahit'. Karena rakyat menjerit kelaparan, sakit mesti bayar, anak putus sekolah, tidak ada perlindungan hukum bagi orang miskin dan lainnya.
Pemilihan kepala desa (Pilkades) menjadi ukuran keberhasilan berdemokrasi itu sesungguhnya. Karena calon benar-benar diuji apakah cakades akan berbuat yang terbaik untuk rakyatnya atau cuma mengincar dana desa semilyar yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Padahal dana desa tersebut untuk rakyat bukan milik kepala desa. Sehingga banyak kalangan berlomba-lomba ingin jadi kepala desa, padahal jabatan tersebut adalah amanah yang besar agar mampu membawa sebuah desa mendunia.
Para pendukung juga kalau bisa jangan terlalu fanatik terhadap cakades yang kemungkinan menimbulkan gesekan sampai perkelahian. Selain itu, ASN tetap netral dalam pilkades sesuai regulasi yang ada. Aparat yang berjaga di lapangan juga mesti cakap dan sigap dalam mengawasi dan mengamankan pra dan pasca pemilihan dan pemungutan suara. Pihak pelaksana mesti transparan, jujur, adil dan tidak memihak kepada calon tertentu demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab siapapun yang terpilih dampaknya akan kembali kepada rakyat desa itu sendiri.
Selamat berpilkades, pilih pemimpin sesuai hati nurani dan bervisi misi yang akan membawa kemajuan bagi desa setempat. Saatnya memberi pelajaran kepada calon kepala desa yang curang dengan membeli suara dengan tidak memilihnya. Para calon telah siap menang dan siap kalah jadi setelah pemilihan ada cakades yang mengamuk atau sampai masuk rumah sakit jiwa berarti mentalnya mental kerupuk. Pilkades dan pilkada 2020 menjadi ujian apakah berdemokrasi di negeri ini hanya ajang pamer power atau murni akan berbuat dan bekerja nyata menuju kesejahteraan rakyat yang dimulai dari desa, kecamatan, kabupaten, kota, propinsi sampai tingkatan negara.
Comments